Pada Mulanya Adalah Dengki

By Admin


Oleh: Makmur Gazali      

nusakini.com - SEJUJURNYA, saya kurang tahu bagaimana sejarah kebencian dimulai.  Banyak orang menyakini, ia bermula dari peristiwa pembunuhan Qabil terhadap saudaranya sendiri, Habil. Tak tahulah, apa yang terjadi pada mereka sehingga membunuh adalah jalan keluar dari penyelesaian masalah. Namun yang pasti, benih pembunuhan itu berakar dari rasa sesak yang bernama  kebencian. Sebuah ruang gelap dalam diri manusia yang menjalar dan melipat gandakan dirinya ketika hati menjadi demikian sempit. Qabil dan Habil pasti merasakan hal tersebut. Sebentuk jiwa yang meradang dan kemudian meledak dalam kepingan amarah yang tak mampu terbayangkan sebelumnya.

Kebencian, bagaimana pun adalah sebentuk ketakmampuan kita untuk berlapang dada. Atau barangkali ia adalah semacam kefanatikan yang tak lagi bisa “melihat” keluasan kemungkinan yang lain. Di sini, rasa itu muncul lebih karena kita tak mau melihat sebuah “perbedaan”.  Kebenaran adalah hak prerogative milik kita dan orang lain yang berbeda diletakkan pada kutub seberang. Dalam kadar inilah, kebencian menjadi sebuah “ideologi” di mana ruang-ruang dialog dan dialektika relasional manusia senantiasa berwajah kekerasan.  Ketika kebencian menyusup dalam relung-relung paling sensitive dalam cara pandang kita, maka di sanalah benturan dengan “yang berbeda” menjadi sebuah pembenaran terhadap kekerasan yang ditimbulkannya.

Dalam ranah ideologi inilah fanatisme tumbuh demikian subur. Di sanalah kita menyaksikan bagaimana kebencian menjadi sebuah “kebenaran”.  Semuanya menjadi hitam-putih, di mana kita saling meletakkan diri berhadap-hadapan dalam telunjuk saling menuduh dan pentung yang siap diayungkan. Dalam atmosfir kebencian seperti itulah kita menumbuh suburkan rumor dan teror. Di sini akal sehat menjadi sesuatu yang agak aneh dan berlebihan. Kita lebih memelihara dendam dan rasa curiga yang demikian gampang tersulut menjadi amarah dan amuk.

Barangkali, kebencian memang merupakan insting paling purba dari eksistensi kemanusiaan kita. Barangkali, ruang-ruang gelap psikologis itu adalah “tempelan” instrinsik dalam sejarah keberadaan kita di muka bumi ini. Terus terang, saya kurang tahu akan hal itu. Namun sejarah telah demikian panjang mencatatnya. Seperti sebuah mata rantai yang menyambungkan kita dengan masa lalu, kebencian hadir disetiap kelokan sejarah dan menaburkan dendam yang akan kita tuai esok hari. Mungkin kita bisa berdebat tentang apakah kebencian itu adalah bagian dari selubung “perih” yang ada bersama hadirnya manusia, atau ia hanya sekadar bagian dari gerak kemanusiaan kita kala mentalitas kita terjun ke titik nadir. Namun sejarah mencatat, ada begitu banyak kebencian yang menghubungkan kita dengan masa lalu.

Jurgen Habermas, seorang filsuf Jerman mutakhir setidaknya menyadari pula hal itu. Namun ia masih saja meletakkan optimisme pada ujung-ujung filsafatnya. Habermas percaya bahwa salah satu kemampuan paling hakiki dalam diri manusia adalah kemampuan mentransformasikan daya-daya “komunikasi” dalam betuk egalitar-substansial. Pada tataran ini, dialog merupakan dialektika yang sanggup membuka ruang-ruang kesepahaman. Dalam bahasa Habermas, komunikasi yang tumbuh bukanlah sebentuk “komunikasi yang bersifat instrumental”, di mana manusia terjebak dalam lingkaran “kebenaran-kebenaran”-nya sendiri.  Namun sebuah pola “komunikasi” yang bersifat “dialektikal-transformatif “.

Optimisme dari premis Habermas mungkin berangkat dari  “sudut-sudut tumpukan buku pada rak perpustakaan”di sebuah kota di negeri Jerman. Di sana pula barangkali dia “mengambil jarak” dan meletakkan manusia pada asumsi yang sama dalam kemampuan rasionalitasnya. Agaknya, itu sah saja. Namun bagaimana pun, dunia bukanlah “buku” yang steril. Qabil dan Habil senantiasa hadir di sana dalam bayang-bayang sejarah tentang bagaimana kebencian itu lahir dan menyusup jauh pada relung-relung prasangka dan  cara pandang ideologis kita dalam melihat realitas dunia.

Namun dalam “kutukan” kemanusiaan seperti itulah, barangkali manusia mampu terlihat demikian “cemerlang” ketika dia sanggup melampaui kebencian itu. Gandhi adalah salah satu contoh kecemerlangan itu. Walaupun ironi sejarah mengiringinya; dia terbunuh oleh hal yang telah dilampauinya itu.* (penulis adalah jurnalis)